Wednesday, April 18, 2007

KALAU BISA DIGOBLOGKAN, MENGAPA MESTI DIPINTARKAN

Artikel:
CARUT-MARUT WAJAH PENDIDIKAN DI INDONESIA

Aku berkaca
Ini wajah penuh luka
Siapa punya

Chairil Anwar

Pendahuluan
Membincangkan pendidikan di negara kita tercinta ini memang sudah mulai membosankan, karena bisa diprediksikan setiap ganti pejabat pasti diikuti oleh kebijakan baru, yakni memoles wajah pendidikan dengan pergantian kurikulum. Hal ini bukannya menunjukkan kita tidak memunyai pakar pendidikan yang layak merumuskan arah dan kebijakan pendidikan, tetapi terlalu banyaknya kepentingan, baik campur tangan government as agency of decisions, politik, maupun ekonomi; bahkan tidak kurang dewan terhormat. Kita pun ikut-ikutan ribut. Dengan demikian, semakin membuat tujuan pendidikan di Indonesia ini bias. Tujuan mulia pendidikan menciptakan manusia Indonesia yang berilmu, beriman, serta bertakwa pun tergusur tujuan praktis-pragmatis menjadi pekerja.
Isu sentral pasca-2003 tentang upaya mengantisipasi AFTA (Asean Free Trade Area) dan AFLA (Asean Free Labour Area) seakan menjadi pemicu presumsi bahwa diperlukan kebijakan untuk merivisi arah kebijakan pendidikan, terutama di bidang kurikulum dan silabus. Kurikulum 1994 pun menjadi tidak populis lagi sehingga perlu direvisi dengan kurikulum 2004 yang dibungkus dengan baju kurikulum berbasis kompetensi (KBK). Belum selesai heboh kurikulum baru yang dianggap semakin membuat tugas guru semakin berat, nasib KBK pun sama. Muncullah monster baru KTSP (kurikulum tingkat satuan pendidikan) yang maksudnya tidak lain tidak bukan: menempatkan guru dan kurikulum sebagai terdakwa penyebab kegagalan pendidikan di Indonesia.
Sementara itu, siswa yang selama ini merupakan obyek seakan-akan semakin menjadi obyek pelengkap sekaligus obyek penderita kebijakan pemerintah. Pemerintah sebagai pembuat dan penentu arah kebijakan pendidikan tidak menyadari bahwa mereka sendiri sebenarnya merupakan produk kurikulum 1954—1974. Artinya mereka sebagai anak kandung kurikulum pada tahun itu telah menyalahkan sistem yang telah melahirkan mereka. Kalau bukan Malinkundang siapalagi mereka?
Satu hal yang tidak mereka kuasai dan renungkan adalah siapa yang menjadi obyek eksperimen mereka saat ini. Obyek eksperimen mereka adalah manusia yang tertuntut oleh zaman dan perut, keterpaksaan sebagai anggta masyarakat yang harus bersekolah yang karenanya mereka akan berijazah, keterjajahan dan keterbelengguan, serta usaha-usaha pemerintah menyupermankan manusia Indonesia dengan memaksakan melaksanakan sistem yang balau. Akhirnya, semua kurikulum yang disusun diorientasikan pada penciptaan insan kamil paripurna: ya cerdas intelejensinya, ya emosinya, ya spiritualnya, ya setelah lulus sekolah terus bekerja.

Kebijakan versus Kebijakan
Jika dicermati dengan saksama, pendidikan di Indonesia telah tidak memunyai arah yang jelas, setidakjelasnya kebijakan-kebijakan pemerintah yang lain. Kebijakan pemerintah di bidang pendanaan pendidikan secara substansial dan material telah menyalahi amananat UUD 45 pasal 31 ayat 4 yang menyatakan secara eksplisit menyatakan bahwa anggaran penyelenggaraan Pendidikan Nasional minimal sebesar 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Namun, kenyataannya pemerintah mengalokasikan anggaran yang lebih besar ke arah sistem pertahanan negara. Suatu kondisi yang menyimpang jauh dari yang diidealkan oleh BJ Habiebie dengan pernyataannya “the man behind the gun” ketika menjabat sebagai Menristek.
Meskipun media massa elektronik secara persuasif menyiarkan gambaran konkret gedung-gedung sekolah dasar negeri yang akan ambruk dan sudah ambruk, guru-guru yang menempuh perjalan turun dan mendaki perbukitan di Papua hanya untuk mengajar yang kadang harus kembali karena bertemu dengan babi hutan atau kehujanan, betapa anak-anak orang miskin dengan terpaksa tidak bersekolah karena kemiskinannya, anak-anak sekolah dasar menggantung diri karena ditagih membayar buku LKS, dan kebijakan BOS yang membuat pendidik menjadi korup, pemerintah tetap menisbikan kenyataan pendidikan kita. Memang, bukan berita baru jika pemerintah tidak memiliki komitmen dalam menyelenggarakan pendidikan.
Anggaran pendidikan yang mepet menunjukkan bahwa pemerintah belum memiliki kepedulian, apalagi komitmen. Ada rumor yang mengatakan bahwa setiap pergantian kurikulum bukannya ditujukan memerbaiki sistem, mekanisme, dan kinerja para pendidik tetapi hanya untuk membuat dan merampung proyek. Jika Departemen Pekerjaan Umum memiliki proyek pembuatan jalan tol Jakarta—Surabaya, maka Departemen Pendidikan Nasional harus membuat proyek jalan lurus menuju masa depan, yang tentunya, biayanya lebih mahal. Alhasil, kompensasinya anggaran pendidikan tersedot ke proyek mercusuar, seperti penyusunan KTSP saat ini.
Penyusunan draf KTSP diselenggarakan di mana-mana dan para guru ribut menyusun KTSP karena diharuskan oleh pemerintah. Di kota provinsi diselenggarakan penataran atau workshop penyusunan KTSP. Kabupaten dan Kota pun tidak mau tertinggal. Para guru ditatar dan diajak mengenal jenis monster baru produk 2006. Akhirnya, setelah menghabiskan waktu, biaya, dan tenaga para guru harus menyusun draf KTSP. Jika tidak mampu menyusun sendiri, pemerintah akan membantu menyediakan tentor (tenaga penyuluh) atau mentor (tenaga pendamping) yang tentunya tidak gratis. Ironis. Para guru yang selama ini bergelut dengan silabus, kurikulum, serta pengajaran dan pendidikan secara praktis dianggap tidak memunyai kemampuan untuk melakukan tugas administratif.
Intinya setali tiga uang. Kebijakan baru ini tidak lebih tidak kurang sama dengan kebijakan tahun 1974 yang melahirkan CBSA dan 2004 yang melahirkan KBK yang akhirnya memang harus mati suri. Nasib KTSP barangkali akan sama dengan KBK yang awalnya berasal dari Kurikulum Berbasis Kompetensi kemudian diplesetkan menjadi Kurikulum Berbasis Kebiasaan. Akankah KTSP yang semula diidealkan menjadi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan kemudian diplesetkan menjadi Kurikulum Tanpa Semangat Pengajarnya, Kerja Tanpa Sarapan Pagi, atau Kurikulum Terserah Si Pengajar. Wallahu’alam bishowab.
Pemerintah barangkali khilaf bahwa pendidikan merupakan proses kehidupan yang dianggap dapat mengentaskan manusia dari penindasan, kemiskinan, kebodohan, dan kesengsaraan. Namun kenyataannya, kebijakan pemerintah melalui bidang pendidikan justru menjadi bagian dari penindasan itu sendiri. Kita bisa melihat bahwa pemerintah secara implisit menempatkan frasa kunci ‘tenaga kerja siap pakai’ sebagai panglima pada penciptaan KTSP.

Visi Pendidikan
Visi pendidikan sudah seharusnya memihak kepada seluruh anak bangsa dan menjadikan wacana sekolah murah sebagai primadna. Amanat UUD 45 pasal 31 sudah jelas memihak kepada rakyat jelata. Namun, dengan bergulirnya waktu sekolah negeri pun tidak memihak kepada rakyat, khususnya rakyat miskin. Di sini harus dipahami bahwa orang miskin tidak termasuk dalam pembahasan silabus dan kurikulum. Dengan sendirinya tidak memiliki korelasi langsung dengan kebijakan visi pendidikan.
Biaya SPP (atau istilah lainnya yang substansinya sama dengan SPP), uang pangkal, uang seragam, uang buku, uang, uang, dan uang. Semuanya harus berbau uang. Para anak orang miskin silakan sekolah di bawah jembatan atau jalan tol yang diselenggarakan oleh LSM peduli pendidikan. Sekolah negeri dan sekolah swasta favorit adalah sekolah yang khusus diperuntukkan anak-anak orang kaya. Orangtua yang mampu mendukung biaya operasional pendidikan dipersilakan menyekolahkan anak-anaknya ke sekolah negeri. Akibat dari semua itu, sekolah-sekolah negeri maupun swasta dijejali anak-anak orang kaya. Sedangkan anak-anak orang-orang yang tidak mampu dipersilakan sekolah-sekolah di pinggiran yang dikelola oleh organisasi sosial-keagamaan nonprofit.
Bukan menjadi persoalan besar jika dua puluh tahun ke depan, pemimpin republik ini adalah kaum kaya (kapitalis) dan para pekerja kasar adalah kaum proletar (rakyat jelata). Sungguh mengerikan membayangkan kenyataan sosial seperti ini. Ketika kaum proletar menyadari posisinya yang sentral dalam suatu tata pemerintahan, maka akan terjadi revolusi buruh. Revolusi industri pernah terjadi, revolusi sosial pun sering terjadi. Lantas?
Dengan menyadari kondisi ini sudah seharusnya pemerintah segera memerbaiki visi di bidang pendidikan sebelum semuanya terlambat. Sekolah murah barangkali bukan persoalan yang rumit mengingat negara kita adalah negara yang sangat kaya akan bahan tambang dan mineral, hasil hutan yang melimpah, dan kekayaan laut yang tiada terhingga. Yang dibutuhkan adalah niat baik pemerintah.
Sudah merupakan suatu keniscayaan jika visi pemerintah di bidang pendidikan adalah menyelenggarakan sekolah murah atau bahkan gratis seperti yang sekarang digagas oleh Pemerintah Kota Makassar yang mengalokasikan anggaran sebesar Rp3 milyar (Republika online, 12 Februari 2007).

Beban, Keterjajahan, dan Keterbelengguan
Anak-anak Indonesia sekarang ini mendapat beban yang sangat sarat. Jika pada tahun 1970-an di sekolah dasar dulu hanya dikenal mata pelajaran IPA, IPS, dan berhitung. Di sekolah menengah pertama mulai diperkenalkan sekolah-sekolah profesional seperti sekolah teknik negeri (STN), sekolah menengah ekonomi pertama (SMEP), dan sekolah kesejahteraan keluarga pertama (SKKP) di samping sekolah umum (SMP). Demikian pun, ketika di sekolah lanjutan atas, para peserta didik tinggal mengembangkan diri sesuai dengan kemampuan dan bakat masing-masing.
Perubahan sistem pendidikan di Indonesia dengan alasan-alasan yang dipaksa logis dan rasional memaksa peserta didik tidak memiliki kebebasan untuk menentukan nasibnya sendiri, termasuk peserta didik dari keluarga miskin. Di sekolah dasar peserta didik telah dijejali ilmu yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan ketrampilan sebagai bekal hidup (life-skill). Secara teoretis, ilmu yang diajarkan di kelas adalah ilmu verbal kognitif. Bagaimana mereka bisa hidup jika lulus SD hanya berbekal pengetahuan. Di SMP mereka dibertemukan dengan aspek kognitif lagi. Demikian pula, ketika lulus SMA. Dengan demikian, proses humanisasi yang mestinya dikedepankan justru diisolasi. Siswa dibentuk menjadi robot-robot penghafal, penyimpan rumus, dan cermin kaca cembung.
Selain beban mata pelajaran yang hanya memiliki aspek kognitif, beban itu masih ditambah lagi dengan materi hafalan yang dogmatis. Hal ini membuat jiwa peserta didik mengalami keterjajahan makna. Para peserta didik tidak memiliki kebebasan untuk mengekspresikan dan mengaktualisasikan diri sesuai dengan tuntutan zaman dan peradaban, serta mengeksplorasi potensi yang dimilikinya. Sementara itu, para guru dibelenggu dengan ‘pedoman suci’ buku pedoman penyusunan silabus dan RPP dari Badan Standar Nasional Pendidikan.
Wacana meningkatkan potensi daerah hanyalah wacana pembius tingkat satuan pendidikan (sekolah). Pada akhirnya, guru tetap menjadi subyek ajar dan siswa sebagai obyek ajar. Hal ini sudah merupakan ‘kutukan feodalistik’ yang berlangsung di zaman kolonial sampai sekarang. Sarjana hasil olahan FKIP dasawarsa ini pun tetap enjoy dengan metode feodal ini. Ketika menjadi guru, mereka tetap puas berceramah di depan kelas dan murid tetap dengan mantap mengikuti pelajaran demi pelajaran dengan duduk khidmat mendengarkan ceramah sang guru.
Semuanya mengekspresikan beban berat yang harus ditanggungkan dengan perasaan nyaman, keterjajahan yang harus disyukuri, dan keterbelengguan akan masa lalu yang selalu memancarkan aroma harum yang harus dinikmati. Terus terang, tidak ada yang salah untuk sikap seperti ini. Pendidikan yang selama ini berlangsung di Indonesia telah menghasilkan banyak manusia super untuk ukuran Indonesia. Siapa kaum terpelajar di dunia ini yang tidak mengenal Soekarno dengan teori ekonomi kerakyatannya, Soeharto dengan strategi civil-war-nya, Gus Dur dengan nasional-humanismenya, Habibie dengan kecermelangan otak aero-dinamikanya, dan Ki Hadjar Dewantoro dengan trilogi pendidikannya.
Hanya, sistem yang menghasilkan mereka tidaklah serumit sistem sekarang diberlakukan. Dengan beban yang sedemikian sarat, apakah masih mungkin menghasilkan yang terbaik? KTSP yang dirancang pun akan menjebak pelaku pendidikan pada mekanisme rutinitas yang formalistis (meminjam istilah Drs. Zaenal Arifin kepala bidang pengajaran Primagama Yogyakarta).

Aktualisasi Metode Pembelajaran dan Pengurangan Beban Mapel
Sebenarnya, yang diperlukan oleh para murid adalah aktualisasi metode pembelajaran dan pengurangan beban mapel. Metode pembelajaran yang selama ini berlangsung adalah ceramah apa pun jenis mapel yang diajarkan oleh guru. Dengan sedikit arogan, guru menyatakan murid belum saatnya mandiri untuk menjawab persoalan pelajaran, atau belum siap menjadi pelaku aktif. Guru tetap menjadi tokoh sentral, menjadi sosok pemilik ilmu, dan tetap menjadi ‘yang digugu dan ditiru’. Proses yang terjadi dan tetap berlangsung selama ini adalah mentransfer ilmu dan pengetahuan.
Metode pembelajaran yang dikuasai oleh guru sangatlah minim. Bahkan yang lebih ironis adalah ketiadaan kesadaran untuk mengaktualisasikan diri sesuai dengan tuntutan zaman dengan berbagai dalih. Tidak sedikit buku tentang didaktik-metodik yang dicetak, baik yang tulisan tokoh pendidikan Indonesia maupun terjemahan. Tidak sedikit pula penataran, workshop, dan semacamnya diadakan. Namun kesemua itu tidak mengubah metode mengajar guru di depan kelas: ceramah. Sementara di sisi lain, rutinitas telah menciptakan kebekuan dan keangkuhan, kebosanan dan runtuhnya idealisasi seorang guru, sehingga guru hanya mengejar formalitas yang mekanistik.
Di sisi lainnya lagi, murid yang dipenuhi dengan tuntutan dan beban materi pelajaran hanya fokus pada lulus UAN dan diterima pada fakultas perguruan tinggi negeri favorit yang diidamkan. Mereka tidak perlu berpikir dulu bekerja dan apa yang harus dikerjakan apabila tidak diterima diperguruan tinggi yang diinginkan. Asumsinya, rata-rata siswa di Indonesia saat ini adalah orang yang berasal dari keluarga mampu, sehingga mereka merasa tidak memerlukan ketrampilan. Sedangkan bagi siswa yang berasal dari keluarga tidak mampu sudah menyiapkan diri menjadi tenaga operator produksi di pabrik tekstil atau manufaktur. Mau apa lagi?
Dapat diasumsikan, jika yang dibutuhkan oleh pemerintah adalah manusia Indonesia paripurna yang mampu bersaing di bursa kerja internasional adalah pertama membaharukan penguasaan metode pembelajaran guru dan mengurangi beban materi pelajaran; kedua melatih secara intensif para guru untuk menemukan metode yang tepat waktu dan sasaran; dan ketiga adalah menyediakan dana yang cukup untuk pelatihan-pelatihan. Jika perlu adakan studi banding ke negara tetangga mengenai mapel yang diajarkan di negara tetangga, seperti Malaysia, Singapura, Jepang, bahkan Vietnam Utara (Vietkong). Kita bisa belajar banyak dari mereka tentang bagaimana mengelola sumber daya manusia Indonesia yang kaya protein ini. Tidak setiap ganti menteri yang muncul adalah kegagalan mengelola SDM. Kegagalan itu dapat dianalisis dari: misal, sejak SMP peserta didik telah diajar berbahasa Inggris tetapi hasilnya masih nihil. Mereka hanya bisa mengucapkan kalimat singkat I love you atau speak English little-little.
Titik Nadir
Disadari atau tidak, pendidikan di negara republik ini telah sampai pada titik nadir. Sejak zaman Belanda sampai dengan zaman SBY lulusan yang dihasilkan adalah tenaga dengan upah dan kualitas rendah. Tenaga kerja kita yang laku di pasar internasional hanya tenaga kasar, seperti operator produksi, pembantu rumah tangga, sopir, tukang kebun, cleaning service, dan yang sederajat dengannya.
Dengan merancang KTSP pemerintah sangat berharap kurikulum ini akan meningkatkan potensi SDM bangsa Indonesia. Dalam KTSP telah dirancang upaya-upaya untuk menggali dan mengoptimalisasi potensi peserta didik. Di dalam KTSP ada tuntutan bahwa guru harus mengenali potensi yang dimiliki setiap siswa untuk ditumbuhkembangkan sebagai ketrampilan hidup. Ini hanya teori. Teori yang dirancang selama ini selalu tampak manis seperti bidadari cantik dengan sayap-sayap transparan.
Namun dengan berbagai kendala yang dijumpai di lapangan: siswa lebih senang jika gurunya saja yang banyak berbicara, menerangkan materi pelajaran sampai nyinggung-nyinggung politik, menganggap mereka sebagai pendengar setia, dan yang terpenting adalah membebaskan mereka dari mengerjakan tugas rumah. Cobalah sebar angket yang berisi pertanyaan tunggal: pelajaran apa yang mereka paling sukai. Jawabnya pasti: pelajaran kosong.
Titik nadir itu telah berlangsung sekian puluh tahun di bumi pertiwi ini. Sikap mental bangsa yang sudah merasa nyaman di negara yang makmur telah berlaku turun temurun dan jujud terus entah sampai kapan. Kekayaan alam yang dimiliki tanah air Indonesia akhirnya menjadi pedang bermata dua: satu sisi membuat semuanya menjadi mudah, dan sisi lainnya menjadikan kita bangsa yang terjajah oleh kapitalisme. Mau apa lagi!

Pendidikan Antisipatoris: Pesantren
Untuk mengantisipasi seluruh persoalan yang dihadapi oleh pemerintah dan anak bangsa di bidang pendidikan ini adalah menggali kembali semangat sistem pendidikan pesantren salafiyah. Pola pendidikan yang didasarkan pada tafakur, tazabur, dan zikrul maut ini jika direfleksikan dalam kehidupan dan dibiarkan berproses dalam kehidupan, maka akan didapati fakta yang sangat mengejutkan.
Perhatikan saja ayat berikut, “Dan tidaklah Kami ciptakan Iangit dan bumi dan segala yang ada di antara keduanya dengan bermain-main.” (Alanbiyaa: 16) Jika kita pikir

Penutup
Sampai sekarang para pakar pendidikan di Indonesia mau mengarahkan ke mana kita semua tidak tahu. Sepertinya, pendidikan di Indonesia hanyalah proyek mencari duit dan bukan untuk mnencerdaskan anak-anak bangsa. Memang, kalau bisa digoblogkan, mengapa mesti dipintarkan. Ya to?










Selamat Pagi 3

selamat pagi ... eh kadang-kadang diplesetkan menjadi "semangat pagi" yang menurut mereka itu adalah cara cerdas menjadi orang cerdas dengan memlesetkan kata. kadang pula setelah pengucapan "semangat pagi" diikuti dengan meneriakkan yel-yel "win-win-win" yang dipahami oleh sebagian orang sebagai 'kawin-kawin-kawin' karena memang sampai detik ini mereka belum laku kawin... eh nikah maksudku.
yakh ... memang zaman sudah kebalik-balik atau orang-orang sudah menjadi goblog semua sehingga tidak bisa membedakan yang mana kawin dan yang mana win tok!
oleh karena itu, selamat bertanding aja deh buat kalian yang hari ini menyelesaikan tugas sebagai anak yang baik, tetapi ingat: jagalah kegoblogan kalian supaya
tidak dipandang pinter. oke?

Friday, April 13, 2007

Selamat Pagi 2

selamat pagi,
entah mengapa aku mengucapkan selamat pagi di waktu pagi, apalagi di pagi ini. aku juga tidak tahu mengapa pagi dipakai untuk bekerja untuk sebagian besar manusia (barangkali hanya maling, satpam, orang-orang yang nglembur, dll saja yang tidak). tetapi bagai dengan orang-orang eskimo saat matahari tidak ada: apakah mereka juga mengucapkan selamat pagi?

Thursday, April 12, 2007

selamat pagi

kata selamat pagi sangat populer di kalangan ekskutif akhir-akhir ini yang secara goblog diterjemahkan/dipahami bahwa pagi mempunyai semangat bekerja, padahal baik pagi, siang, maupun sore dan malam sama-sama mempunyai semangat malas bagi orang goblog. jadi kan ndak ada bedanya, mau pagi, siang, sore, atau malam.

GOBLOG

BERANGKAT dari untuk tidak menggoblogkan orang, wahana orang goblog ini sama sekali tidak ditujukan untuk menggoblogkan orang-orang yang sudah dari sononya goblog. wahana ini ditujukan menghormati orang-orang goblog dan memberikan kesempatan untuk mengekpresikan kegoblogan agar tidak tampak goblog. silakan orang goblog untuk menuangkan uneg-unegnya daripada digoblogkan orang deh!

GOBLOG

ADALAH ORANG YANG SANGAT GOBLOG JIKA MAU MEMBACA WAHANA INI, SEBAB WAHANA INI HANYA BERISI HAL-HAL YANG MEMANG GOBLOG DAN DITUJUKAN UNTUK ORANG-ORANG GOBLOG. OLEH KARENA ITU, WAHANA INI DISEDIAKAN BAGI ORANG-ORANG GOBLOG UNTUK MENUANGKAN IDE-IDENYA YANG GOBLOG TETAPI (YANG PENTING) BUKAN UNTUK MENGGOBLOGKAN ORANG YANG SUDAH GOBLOG SEJAK AWALNYA. SILAKAN, WAHAI ORANG GOBLOG UNTUK MENGGOBLOGKAN DIRI DI SINI.